Selasa, 05 September 2017

Waiwadan yang Kami Kenang: Sekelumit Catatan Tentang Desa


Tidak ada alasan untuk tidak merindukan kampung yang telah dengan ramah membesarkan anda. Memberikan segenap cintanya, dari air yang anda minum, tanah tempat anda menghabiskan masa kecil, atau lapangan bola yang selalu penuh air di musim hujan. Saya selalu berusaha mengingat semua detail, sebuah kampung yang baru pada pertengahan 2000-an jalan-jalannya benar-benar diaspal dengan baik.
Kampung ini berisi legenda simpang siur. Saya sampai sekarang belum paham kenapa diberi nama Waiwadan. Tapi dari cerita --- legenda kampung turun temurun --- Waiwadan berarti air darah. Konon, kali kecil di sebelah Barat kantor Polsek itu dialiri air merah. Seperti darah. Begitulah nama Waiwadan menjadi.
Kampung ini sama sekali tidak spesial. Kecuali bahwa dia menjadi ibu kota Kecamatan Adonara Barat. Mungkin kebetulan dia berada di pesisir pantai. Juga pada zaman kolonial, ada kakang yang ditunjuk Hindia Belanda tinggal di kampung Waiwadan. Sisa dari cerita itu adalah kesunyian dan kemiskinan yang berlomba menjadi juara.
Tapi manusia, selalu punya sisi sentimentil untuk hal-hal yang oleh sebagian orang dianggap aneh. Saya kadang --- atau mungkin sering --- ditanya kenapa mau-maunya hampir 29 tahun betah menjadi orang Waiwadan. Kampung yang sepi dan penuh sesak dengan segala tetek bengek persoalan sosial. Mungkin jawaban saya akan sulit diterima. Sama sulitnya dengan memahami cinta Gooners kepada Arsene Wenger. Ingin berpaling tapi hati tak bisa.
Di Waiwadan saya dibesarkan. Ayah dan Ibu merantau dari Timur Adonara, diterima dengan baik sekaligus sangat dihormati hingga sekarang. Keluarga kami sangat dicintai, dan dengan berkat leluhur kampung ini, kami mendapat kerabat-kerabat baru yang hangat. Satu-satunya yang tidak bisa saya lupakan adalah, ditengah kesunyian dan kemiskinan struktural yang kian membelit, kampung ini masih bisa hidup secara kolektif. Mereka begitu kuat meskipun sering menjadi prioritas kesekian dalam semua agenda pembangunan di Bale Gelekat.
Waiwadan bagi saya adalah tempat yang sempurna untuk kembali. Setiap sore di depan rumah, menikmati anak-anak kampung bermain; tetangga yang pulang dari kebun dan lagu Minang yang diputar keras oleh Ade Pa, tentangga saya yang tidak pernah mati gaya meski sudah punya dua anak. Atau pergi ke pasar. Di sana Om Mat sudah datang dengan gerobak baksonya. Memesan semangkuk bakso sambil mendengar pidato Om Mat yang membanggakan kualitas pentol baksonya, memang bukan pilihan yang buruk.
Waiwadan adalah diary ajaib. Tidak habis halaman demi halaman dicatat. Kenangan dikejar polisi karena tidak berhelm. Mbribik gadis kampung yang kebetulan kakak kelas. Atau ngobrolin video-video bokep terbaru sambil ngopi dan mendengar hair rock dikontrakan teman. Pulang ke rumah telat, kemudian telat bangun pagi. Meskipun sering dicegat Pak Endi dan Pak Hend Galot di gerbang sekolah, tapi bertobat sebagai bad boy kelas ABG kampung sama sekali tidak keren.
Waiwadan selalu spesial. Terutama bagi mereka yang pernah satu sloki dengan Om Mangu Besa. (Teks: Hendrikus Menasa Boro)

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar