Tidak ada alasan
untuk tidak merindukan kampung yang telah dengan ramah membesarkan anda.
Memberikan segenap cintanya, dari air yang anda minum, tanah tempat anda
menghabiskan masa kecil, atau lapangan bola yang selalu penuh air di musim
hujan. Saya selalu berusaha mengingat semua detail, sebuah kampung yang baru
pada pertengahan 2000-an jalan-jalannya benar-benar diaspal dengan baik.
Kampung ini berisi legenda
simpang siur. Saya sampai sekarang belum paham kenapa diberi nama Waiwadan.
Tapi dari cerita --- legenda kampung turun temurun --- Waiwadan berarti air
darah. Konon, kali kecil di sebelah Barat kantor Polsek itu dialiri air merah.
Seperti darah. Begitulah nama Waiwadan menjadi.
Kampung ini sama sekali tidak
spesial. Kecuali bahwa dia menjadi ibu kota Kecamatan Adonara Barat. Mungkin
kebetulan dia berada di pesisir pantai. Juga pada zaman kolonial, ada kakang
yang ditunjuk Hindia Belanda tinggal di kampung Waiwadan. Sisa dari cerita itu
adalah kesunyian dan kemiskinan yang berlomba menjadi juara.
Tapi manusia, selalu punya
sisi sentimentil untuk hal-hal yang oleh sebagian orang dianggap aneh. Saya
kadang --- atau mungkin sering --- ditanya kenapa mau-maunya hampir 29 tahun
betah menjadi orang Waiwadan. Kampung yang sepi dan penuh sesak dengan segala
tetek bengek persoalan sosial. Mungkin jawaban saya akan sulit diterima. Sama
sulitnya dengan memahami cinta Gooners kepada Arsene Wenger. Ingin berpaling
tapi hati tak bisa.
Di Waiwadan saya dibesarkan.
Ayah dan Ibu merantau dari Timur Adonara, diterima dengan baik sekaligus sangat
dihormati hingga sekarang. Keluarga kami sangat dicintai, dan dengan berkat
leluhur kampung ini, kami mendapat kerabat-kerabat baru yang hangat.
Satu-satunya yang tidak bisa saya lupakan adalah, ditengah kesunyian dan
kemiskinan struktural yang kian membelit, kampung ini masih bisa hidup secara
kolektif. Mereka begitu kuat meskipun sering menjadi prioritas kesekian dalam
semua agenda pembangunan di Bale Gelekat.
Waiwadan bagi saya adalah
tempat yang sempurna untuk kembali. Setiap sore di depan rumah, menikmati
anak-anak kampung bermain; tetangga yang pulang dari kebun dan lagu Minang yang
diputar keras oleh Ade Pa, tentangga saya yang tidak pernah mati gaya meski
sudah punya dua anak. Atau pergi ke pasar. Di sana Om Mat sudah datang dengan
gerobak baksonya. Memesan semangkuk bakso sambil mendengar pidato Om Mat yang
membanggakan kualitas pentol baksonya, memang bukan pilihan yang buruk.
Waiwadan adalah diary ajaib.
Tidak habis halaman demi halaman dicatat. Kenangan dikejar polisi karena tidak
berhelm. Mbribik gadis kampung yang kebetulan kakak kelas. Atau ngobrolin
video-video bokep terbaru sambil ngopi dan mendengar hair rock dikontrakan
teman. Pulang ke rumah telat, kemudian telat bangun pagi. Meskipun sering
dicegat Pak Endi dan Pak Hend Galot di gerbang sekolah, tapi bertobat sebagai
bad boy kelas ABG kampung sama sekali tidak keren.
Waiwadan selalu spesial.
Terutama bagi mereka yang pernah satu sloki dengan Om Mangu Besa. (Teks: Hendrikus Menasa Boro)